Rabu, 01 Juni 2011

Makalah Qowaidh Fiqhyah



BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Qawaidul Fiqhyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Disini kami akan membahas permasalahan dari beberapa kaidah yang terdapat dalam qowaidul fiqhyah, mengenai jinayah dan siyasah. Fiqh Jinayah adalah hukum islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Sedang Fiqh siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dan pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret didalam ruang lingkup suatu negara atau dalam kebijakannya.
II. Rumusan Masalah
1.      Apa sajakah tanggung jawab seorang pemimpin?
2.      Bagaimana seorang pemimpin dalam pandangan kaidah fiqh?
3.      Apakah yang dimaksud Had, syubhat dan pandangan ulama mengenai hukum tersebut?
4.      Bagaimana kedudukan perubahan hukum pada suatu negara?

III. Tujuan Pembahasan
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh,permasalahannya terutama mengenai hukum, kepemimpinanan atau kekuasaan, serta kebijakan.


BAB II

Kaidah Kelima V

تَصَرَّفُ الاِْمَامِ عَلَى الرَّ عِيَّةِ مَنُوْطٌ بِا لمَْصْلَحَةِ
Tasharruf (tindakan) imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan kemashlahatan”.
Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin/penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan umat.
Imam(pemerintah) adalah salah satu lembaga Negara yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan ketenteraman rakyatnya(masyarakat yang dipimpin). Jangan sampai peraturan dan UU yang dibuat tidak sejalan dengan keadaan masyarakat dan selalu merugikan mereka.
Imam berarti pemimpin sedangkan imamah artinya kepemimpinan. Dalam bidang pemerintahan imam berarti pemimpin masyarakat. Istilah imam merupakan padanan dari istilah”amir dan khalifah”. Tentunya yang dinamakan Imam itu menurut saya bukan hanya para pejabat pemerintahan, tapi juga orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain yang berada di bawah kekuasaannya. Semisal pada sebuah organisasi, perkumpulan, dan bahkan sekelas kepala keluarga juga bisa dinamakan imam .
Bagi rakyat juga punya kewajiban untuk taat dan tunduk kepada pemimpin jika benar-benar pemimpin tersebut mampu untuk mensejahterakan rakyat dan tidak melanggar agama,
Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Asy-Syafi’i:
مَنْزِلَةُ الْاِمَامِ مِنَ الرَّ عِيَّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِّى مِنَ الْيَتِيْمِ
“Kedudukan Imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim”.
Menurut beliau, fatwa beliau adalah berasal dari fatwa Umar bin Khattab RA yang diriwayatkan oleh Sa'id bin Mansur dari Abu Ahwash dari Abi Ishaq dari Barro' bin 'Azib.
نِّى اَنْزَلْتُ نَفْسِى مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَلَىِّ اليَتِيْمِ اِنِ احْتَجْتُ اَخَذْتُ مِنْهُ َوَاِذَا اَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ وَاِذَا اسْتَغْنَيْتُ اِسْتَغْفَفْتُ
“Sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim, jika aku membutuhkan, aku mengambil daripadanya, dan apabila ada sisa aku kembalikan. Dan apabila aku tidak membutuhkan, aku menjauhinya (menahan diri daripadanya)” .
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keinginan keluarganya atau kelompoknya.
Banyak contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap kebijakan yang maslahat dan manfaat bagi masyarakat maka itulah yang harus direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai/dievaluasi kemajuannya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan kemudharatan rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi.[1]
Imam Syafii menegaskan bahwa kedudukan Kepala Negara/pemimpin terhadap rakyatnya itu bagaikan kedudukan wali terhadap anak yatim yang ada dalam perlindungannya. Jadi jika pemerintah dalam menggunakan kekayaan Negara itu menyeleweng dari kebenaran, maka menurut hukum dilarang, sebab tidak sesuai dengan kemaslahatan rakyat.
Berdasarkan kaidah ini pula, Kepala Negara/pemimpin atau wakilnya dalam mengambil kebijaksanaan terhadap sesuatu yang berhubungan dengan rakyat, tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip syari’at Islam, sehingga andaikata penguasa menetapkan seorang fasiq untuk jadi imam shalatpun, menurut hukum tidak dibenarkan.
Dalam kitabnya”Al-Ahkam As-Sultoniah” Al-mawardi mengatakan bahwa imamah itu bertujuan untuk khilafatun nubuwah(pengganti Nabi) di dalam hal menjaga agama dan berpolitik di dunia. Beliau mengungkapkan tujuh syarat untuk bisa menjadi imam:
1.      Adil
2.      Sehat panca indera
3.      Mampu berijtihad dalam hokum
4.      Sehat anggota badannya
5.      Punya pengetahuan tentang politik
6.      Keturunan Bani Qurays
7.      Pemberani
Contoh lain:
- Masjid jami’ yang menghadap dan dekat dengan jalan raya sudah dipandang baik, tetapi karena agama terus berkembang dan lalu lintas pun makin ramai, maka pemerintah kemudian memperluas masjid dan harus memindah jalan raya demi kemaslahatan rakyat.
- Haram membagikan zakat dengan lebih kepada sebagian orang yang berhak menerimanya, sedangkan sebagian yang lain mempunyai kebutuhan yang sama.
- Mem PHK(memberhentikan) sebagian anggota tentara dari kesatuannya itu boleh dengan adanya sebab(alasan), tapi jika tidak ada alasan maka tidak diperbolehkan.
Masalah yang tercakup dalam kaidah ini banyak sekali, misalnya: penetapan imam shalat, pengangkatan/pemecatan karyawan, masalah nikah dengan wali hakim dan sebagainya. Sebagaimana sebagiannya sudah dicontohkan di atas dan kesemuanya itu harus tidak lepas dari kemaslahatan rakyat banyak.
Secara umum sesungguhnya kaidah ini sudah termasuk dalam kandungan Hadits Nabi:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْعُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
(رواه البخرى واحمد وابو داود واترمدى عن اتى عمر)
 “Masing-masing dari kamu adalah penggembala, dan tiap-tiap pengembala dimintai pertanggung jawaban atas penggembalaannya”.
Lapangan pelaksanaan kaidah ini adalah dalam bidang-bidang yang menyangkut bidang pemerintahan dan kebijaksanaan dalam hubungannya dengan rakyat, sehingga memberikan pengertian bahwa setiap tindakan/kebijaksanaan yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat harus dikaitkan dengan kemashlahatan rakyat banyak dan dirujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan. Dengan demikian tindakan penguasa yang hanya sekedar menuruti hawa nafsu serta kesenangan sendiri dan tidak membawa kebaikan pada rakyat adalah tidak dibenarkan.
Contoh:
1.      Pembagian zakat terhadap delapan golongan (ashnaf tsamaniyah) oleh petugas amil, tidak boleh dilebihkan yang satu di atas yang lain dalam kondisi yang sama kepentingannya.
2.      Penguasa tidak boleh mengangkat orang fasiq menjadi imam shalat, sekalipun sah makmum dibelakangnya, karena hanya makruh saja. Dalam hal seperti ini penguasa harus benar-benar memperhatikan kemashlahatan, kalau tidak, akan mendorong orang gampang dan ringan memandang hal-hal yang makruh.
Masih di dalam konteks contoh tersebut, pemerintah tidak boleh mengangkat seseorang yang memiliki keahlian untuk sesuatu jabatan, sedang tenaga profesi yang diperlukan untuk jabatan itu ada. Menempatkan orang yang bukan ahlinya pasti mengakibatkan ketidak-suksesan dalam mewujudkan kemashlahatan/kepentingan umum.
3.      Pemerintah boleh menggusur perkampungan rakyat untuk kepentingan sarana umum dengan imbangan ganti rugi yang memadai.[2]

Kaidah Keenam
اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ
“Hukuman-hukuman itu gugur karena syubhat”.
Suatu kasus yang belum bisa dibuktikan secara faktual sebagai suatu tindak pelanggaran, tersangka tidak bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk memvonis pelaku tindak kriminalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan bukti-bukti obyektif yang meyakinkan.
Berarti dari hadis di atas dapat diambil kesimpulan(konklusi) bahwa suatu perkara jika terdapat suatu ketidak jelasan, maka bisa menggugurkan suatu had.
Penjelasan:
Had: Adalah tuntutan hukum yang ada pada al-Qur’an dan Hadis, seperti: pencurian, perzinahan dan sebagainya. Jadi berbeda dengan Ta’zir yang mempunyai pengertian:”Tuntutan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam nash’, seperti: memasuki rumah lain tanpa izin, mencium isteri orang, memaki orang dan sebagainya.
Syubhat artinya: Tidak terang atau Tidak jelas. Jadi masih dalam keaadaan samar yaitu perkara-perkara yang kurang atau tidak jelas hukumnya, apakah halal atau haram. Islam mengingatkan umatnya agar menghindari atau menjauhi perkara syubhat, sebagaimana sabda Nabi:”Sesungguhnya sesuatu yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun jelas. Diantara keduanya ada yang samar(mutasyabihat), yang kebanyakan manusia tidak dapat mengetahuinya. Barang siapa yang takut atau memelihara dirinya dari yang samar-samar itu berarti telah membersihkan kehormatan diri dan agamanya. Dan barang siapa yang jatuh ke dalam yang samar-samar berarti ia telah jatuh ke hal atau perkara yang haram”(HR Bukhori dan Muslim).
Catatan:

a. Syubhat itu tidak dapat menggugurkan ta’zir, tetapi dapat menggugurkan kaffarat, misalnya: Bila ada sepasang suami isteri yang sedang puasa ramadlan lupa bermain kuda-kudaan (jima') di siang hari, maka ia tidak wajib membayar kaffarat.
Tetapi menurut Imam Khafal mereka tetap harus membayar fidyah.

b. Syubhat yang bisa menggugurkan had atau kaffarat itu disyaratkan harus kuat. Jika syubhat lemah, maka tidak dapat menggugurkan had atau kaffarat
.
Ada tiga macam syubhat yang dapat menggugurkan sanksi had, yaitu:
Pertama, syubhat yang berhubungan denagn pelaku (al-fa’il) yang disebabkan oleh salah sangkaan si pelaku, seperti mengambil harta orang lain yang dikira harta miliknya.
Kedua, syubhat karena perbedaan ulama (fi al-jihah) seperti imam malik membolehkan nikah tanpa saksi tapi harus  ada wali. Abu Hanifah membolehkan nikah tanpa wali tapi harus ada saksi.
Ketiga, syubahat karena tempat (fi al-mahal) seperti me-wathi istri saat haidl.

Kaidah ini berasal dari sabda Nabi:
اِدْرَؤُاالْحُدُوْدُ بِا لشُّبُهَاتِ
“Hindarkanlah hukuman-hukuman karena adanya syubhat".
اِدْرَؤُا الْحُدُوْدَ عَنِ الْمُسْلِيْمِنَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَاِنْ وَجَدْتُمْ لِلْمُسْلِمِ مَخْرَجًا فَخَلُّوْاسَبِيْلَهُ فَاِنَّ الْاِمَامَ لَاَنْ يَخْطِئَ فِى الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ اَنْ يُخْطِئَ فِى الْعُقُوْبَةِ
(رواه الترمذى والحاكم عن عائسة)
“Hindarkanlah hukunan-hukuman dari kaum muslimin sedapat-dapatmu, apabila kamu sekalian mendapatkan jalan keluar bagi orang-orang muslim (agar terhindar dari had) maka berikanlah jalannya, karena sesungguhnya imam (hakim) salah dalam rangka memberi maaf itu lebih baik dari pada salah dalam rangka memberi hukumn".
Hudud bentuk jama' dari had. Menurut bahasa Had sama dengan Larangan, sedang menurut syara' sama dengan hukuman atas sesuatu pelanggaran.
Untuk menetapkan adanya syubhat diperlukan sekali penelitian yang mendetail, jika tidak, tidak akan bisa menggugurkan pelaksanaan had. Oleh sebab itu kaidah tersebut menerapkan bahwa hukuman bagi pelaku tindak kejahatan (jarimah) tidak bisa dijatuhkan selama masih terdapat kesyubhatan, baik syubhat pada subyek (syubhat fil-fa'il), subhat pada obyek (syubhat fil mahal) ataupun syubhat pada prosedur (syubhat fith thariq).
Contoh:
1.      Mengumpuli wanita dikira isteri sendiri, padahal bukan (syubhat fil fa'il).
2.      Mengambil kendaraan di tempat perparkiran, karena cat dan merek sama, temyata bukan. (syubhat fil fa'il).
3.      Orang mencuri harta milik anaknya. Anak dan apa yang dimilikinya, orang tua pada hakikatnya ikut memiliki. Atau sebaliknya, anak mencuri harta orang tuanya. Orang tua dan apa yang menjadi miliknya, sebenarnya anak ikut memiliki. (syubhat fil mahall).
Kesybhatan di sini tendapat pada perasaan masing-masing ikut memiliki.
4.      Nikah tanpa wali. Imam Abu Hanifah membolehkan sementara pendapat mayoritas ahli fiqh (jumhur fuqoha’) tidak mengesahkan. (syubhat fith thariq).
5.      Nikah tanpa syahid. Imam Malik memperkenankan, sedang mayoritas ahli fiqh tidak membenarkan (syubhat fith thariq).
6.      Nikah mut'ah (kawin untuk sementara). Ibnu Abbas membolehkan tetapi mayoritas ahli fiqh tidak mengesahkan. (syubhat fith thariq).
7.      Minum-minuman keras dengan dalih berobat, sekalipun menurut pendapat yang lebih kuat tetap mengharamkan. (syubhat fith thariq).
Kesyubhatan-kesyubhatan tersebut, terdapat pada perbedaan pandangan dan pendapat para ahli fiqh.
Masuk dalam kaidah ini ialah kaidah:
اَلْكَفَّارَةُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ
“Kewajiban membayar kafarat gugur karena adanya syubhat”.
Contoh:
Orang melakukan persetubuhan pada waktu puasa Ramadhan karena lupa, tidak wajib membayar kafarat.
Demikian pula misalnya karena beranggapan sudah terbenam matahari, tetapi ternyata belum.[3]

KAIDAH FIQIH

Syara menetapkan alat tertentu seperti mud, sha, rithl dan sbg y untuk menetapkan ukuran gandum, kurma dan garam yang mau dijualbelikan. kemudian 'adah kebiasaan atau 'rf merubah dalam menetapkanukuranya dengn timbangan lain.[4]
Abu yusuf dari kelompok fuqoha hanafi dan mayoritas fuqoha non-hanafiyah berpendapat bahwa hukum syara' itu juga berubah mengikuti perkembangan adat kebiasaan atau 'urf yang bersangkutan. hal ini sesuai dengan kaidah kondisional berikut.
لا ينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان
            “Tidak dapat diingkari perubahan hukum itu disebabkan perubahan zaman dan tempat (situasi dan kondisi).[5]
Dari prinsip ini, seseorang dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan perubhan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat, keadaan, dan adat.
Oleh karena itu, ketentuan hukum sangat mungkin berubah karena pertimbangan lingkungan, yaitu lingkungan tempat (zharf al-makan) dan lingkungan waktu (zahrf al-zaman).
Misalnya, bahwa negara Indonesia boleh atau mempunyai wewenang untuk menafsirkan nas (al-Quran dan al-Hadits) membuat perundangan-undangan sesuai dengan tuntutan zaman. Kewenangan tersebut adalah :
1.   Men-taqyid-kan ke-mutlaq-kan nas, yaitu melakukan taqyid terhadap ayat-ayat mutlak yang berhubungan dengan kemaslahatan dan kepentingan orang banyak.
2.   Men-takhsis-kan ke-umum-an nas, yaitu melakukan takhsis terhadap ayat yang berhubungan dengan kemaslahatan dan kepentingan orang banyak.
3.   Melakukan reinterpretasi terhadap nas, yaitu bahwa dalam melakukan interpretasi terhadap nas tidak harus serta merta berdasarkan harfiah nas (al-Qur’an al-Sunnah) tetapi dapat dipahami dari semangat dan jiwa yang dibawa oleh nas tersebut. Walaupun tidak tertutup kemungkinan antara semangat dan jiwa nas bertentangan secara harfiah dengan nas.
4.     Membuat perundang-undangan sesuai dengan berbagai jenis dan tingkatannya, yaitu pemerintah membuat perundang-undangan dalam berbagai bentuk dan tingkatannya untuk menyelenggarakan tugas ketatanegaraannya dan kepemerintahannya demi menjaga kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Walaupun, tidak secara langsung bersumber dari Islam, tetapi dapat dipandang sebagai hukum yang Islami.
Demikian yang dilakukan oleh para Khalifah Islam, seperti Umar bin Khattab saat membebaskan pencuri, Utsman bin Affan saat meminta barang temuan agar diberikan kepada baitul maal, dan Umar bin Abdul Aziz saat memerintahkan untuk menulis hadith. Padahal, apa yang dilakukan oleh khalifah-khalifah ini tidak pernah dipraktekkan oleh Nabi SAW.
Ketaatan kepada ulil amri ini harus dengan syarat-syarat, sebagai berikut :
a.       Ditetapkan melalui musyawarah (wa shawirhum fi al-amr)
b.      Tidak memberatkan/mempersulit umat (raf’u al-haraj)
c.       Menutup akibat negatif (sadduz al-zari’ah)
d.      Mewujudkan kemaslahatan umat (jalb al-masalih al-ammah)
e.       Menciptakan keadilan (tahqiq al-adalah)[6]
 
BAB III

KESIMPULAN
Imam (pemerintah) adalah salah satu lembaga Negara yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan ketenteraman rakyatnya(masyarakat yang dipimpin). Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin/penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan umat.
Dalam persoalan hukum, Hudud bentuk jama' dari had. Menurut bahasa Had sama dengan Larangan, sedang menurut syara' sama dengan hukuman atas sesuatu pelanggaran. Untuk menetapkan adanya syubhat diperlukan sekali penelitian yang mendetail, jika tidak, tidak akan bisa menggugurkan pelaksanaan had. Oleh sebab itu kaidah tersebut menerapkan bahwa hukuman bagi pelaku tindak kejahatan (jarimah) tidak bisa dijatuhkan selama masih terdapat kesyubhatan, baik syubhat pada subyek (syubhat fil-fa'il), subhat pada obyek (syubhat fil mahal) ataupun syubhat pada prosedur (syubhat fith thariq).
Dan seseorang pemerintah dalam suatu negara dapat menetapkan hukum atau melakukan perubahan sesuai dengan perubhan waktu (zaman). Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa suatu ketentuan hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid mungkin saja mengalami perubahan karena perubahan waktu, tempat, keadaan, dan adat. Oleh karena itu, ketentuan hukum sangat mungkin berubah karena pertimbangan lingkungan, yaitu lingkungan tempat (zharf al-makan) dan lingkungan waktu (zahrf al-zaman).
SARAN
Penyusun makalah ini hanya manusia yang dangkal ilmunya, yang hanya mengandalkan buku referensi. Maka dari itu penyusun menyarankan agar para pembaca yang ingin mendalami masalah Qawaidul Fiqhyah, agar setelah membaca makalah ini, membaca sumber-sumber lain yang lebih komplit, tidak hanya sebatas membaca makalah ini saja.

DAFTAR PUSTAKA
1.      A.Dzajuli, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007
2.      Akhmad azhar basyir, Hukum-hukum Adah Bagi Umat Islam, Yogyakarta: Nur Cahaya,1983.
3.      Drs.H.Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Jakarta:Kalam Mulia,2001.
4.      Dr.H.Dahlan Tamrin, M.Ag, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, UIN Maliki Press,2010.

















 




[1] A.Dzajuli, Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana, 2007    hlm.147-14 
[2] Drs.h.Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Jakarta:Kalam Mulia,2001      hlm.61-62
[3]  Drs.h.Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Jakarta:Kalam Mulia,2001      hlm.63-64
[4] Akhmad azhar basyir, Hukum-hukum Adah Bagi Umat Islam, Yogyakarta: Nur Cahaya,1983 hlm.27-34
[5] Dr.H.Dahlan Tamrin, M.Ag, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, UIN Maliki Press,2010         hlm.215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar